Berbagai iklan reklame sering mengelabui atau kasarnya 'membodohi'.  Itulah yang membuat rancu masyarakat saat ini menjelang Idul Fithri.  Seringkali dipahami bahwa maksud Idul Fithri adalah kembali suci,  seakan-akan jika telah jalani puasa berarti kita telah keluar dari bulan  Ramadhan seperti bayi yang baru lahir. Mari lihat ulasan sederhana  berikut.      
Jika kita tilik dalam kamus Al Mu'jam Al Wasith, 'ied adalah  suatu perkara penting atau sakit yang berulang, bisa juga sesuatu yang  berulang tersebut adalah sesuatu yang dirindukan dan semacamnya. 'Ied  juga berarti setiap hari yang terdapat perayaan di dalamnya. Sedangkan  fithri berasal dari kata 'afthoro' yang berarti memutuskan puasa karena  melakukan pembatalnya. Jadi fithri di sini dimaksudkan dengan hari  setelah Ramadhan, di mana tidak berpuasa lagi. Hal ini berbeda dengan  kata fithroh (fitrah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang dalam  bahasa Arab bermakna sifat asli atau watak asli, atau bermakna pula  tabi'at selamat yang belum tercampur 'aib (Lihat Al Mu'jam Al Wasith,  hal. 727-728). 
Dari sisi bahasa, 'Idul Fithri saja bukan berarti kembali suci.  Apalagi jika kita melihat kembali dalam kitab-kitab fikih, tidak pernah  dijumpai makna demikian.
Kapan Kembali Suci?
Ulama salaf lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang, “Hari ini suatu kaum telah kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.” (Dibawakan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Latho-if Al Ma’arif, hal. 373-374).
Perkataan ini seakan-akan membenarkan yang dimaksud kembali suci.  Namun bukan karena kita sekedar berjumpa dengan Idul Fithri, lalu kita  kembali suci. Perkataan ini dimunculkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali  karena begitu banyaknya pengampunan di bulan Ramadhan dari amalan yang  kita lakukan.
Mulai dari amalan puasa, shalat malam (shalat tarawih),  menghidupkan lailatul qadar, juga permohonan maaf yang kita minta pada  Allah. Itulah yang menyebabkan seolah-olah kita keluar dari bulan  Ramadhan seperti bayi yang baru lahir. Tetapi tentu saja perkataan di  atas bukan ditujukan pada orang yang tidak shalat atau shalatnya  bolong-bolong di bulan Ramadhan, bukan bagi orang yang tidak puasa,  bukan bagi orang yang malas shalat tarawih, bukan bagi orang yang malas  menghidupkan lailatul qadar atau enggan mencari permintaan maaf atas  dosa di hari-hari terakhir Ramadhan.
Renungkanlah hal ini. Jangan terlalu PD menyatakan diri kembali suci  setelah Ramadhan sedangkan masih penuh kekurangan dalam beramal.
Sumber: RumaySho.Com
baca juga artikel lainnya:







0 comments:
Post a Comment